MENGHARGAI PILIHAN ROY CITAYAM "SI PENOLAK BEASISWA MENPAREKRAF"

 Pasti sudah baca berita ini kan?


Ya, Roy Citayam namanya. Belakangan ini namanya mendadak viral di internet lantaran dirinya dikabarkan menolak tawaran beasiswa dari Menparekraf Sandiaga Uno.

Banyak warganet, terutama dari golongan akademisi, yang tiba-tiba menghujat Roy ini karena ia menolak beasiswa tersebut. Alasannya, karena bagi Si Roy pendidikan tak akan menjaminnya untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik.

"Bakal kerja aja sih paling kalo sekolah percuma zaman sekarang juga sekolah tinggi cuma paling juga jadi OB paling gampang. Zaman sekarang tuh nyari kerja susah. Makanya cari yang udah ada aja. Kalau cari yang baru baru kan kita ninggalin yang lama demi yang baru, pasti yang baru juga sementara doang," demikian ujar Si Roy.

Jujur, saya butuh waktu lama untuk memikirkannya. Untuk tidak tiba-tiba membanting pintu dan menempatkan Roy sebagai pihak "pesakitan" yang tak tahu diuntung. Apalagi mendengar kata-katanya mengenai "buat apa sekolah tinggi paling cuma jadi OB".

Ya, saya memang tidak sepakat dengan pendapat Roy mengenai sekolah karena bagi saya, "Saya sekolah sampai S2 itu bukan untuk cari kerja."Saya sekolah jauh-jauh ke UI di Jakarta itu untuk mencari makna hidup dan mengubah pola pikir. Saya rela "membayar mahal". Saya ingin belajar di institusi terbaik dan termahal di negeri ini untuk memperbaiki diri saya. Kalau saya perempuan (yang biasanya dikatain, "Ngapain sekolah tinggi-tinggi toh nanti juga ngurus dapur, mainan pupur dan menyenangkan suami di kasur)... mungkin memang benar perkataan Anda bahwa setelah lulus nanti saya bakalan tetap berada di dapur, saya akan tetap bersolek, dan saya juga akan melahirkan dan mengurus anak-anak saya, tapi... saya dengan SADAR dan YAKIN dapat berkata bahwa dapur nantinya bukan lagi dapur dengan konsep dan tatanan sebagaimana saya belum menempuh pendidikan tinggi, peralatan mekap saya pun bukan lagi mekap yang tak saya pedulikan kandungan merkuri atau pewarna-pewarna kimia lain di dalamnya -bagaimanakah dampaknya terhadap kulit saya, dan cara bercinta saya dan suami pun akan pernuh dengan kesadaran yang tak memaksa sebab saya sudah paham dengan consent issue... saya pun mendidik dan mengasuh anak-anak saya dengan penuh kasih, bukan beban.

Memang... memang saya sepakat dengan Roy Citayam bahwa (semua) "pendidikan" dan "kebijaksanaan" yang saya sebutkan di atas tersebut bisa saya temukan di luar sekolah. Tapi... tapi bagi saya yang kebetulan cinta dengan "sekolah" dan "institusi pendidikan", sekolah membuat saya tertantang dan bertumbuh. Ya, karena itulah sampai saat ini saya tuh lebih suka kalo disuruh mikiri belajar ketimbangne disuruh kawin.

Ya, saya tidak akan memaksakan apa yang menurut saya "baik" ke dalam kehidupan Roy. Baik bagi saya belum tentu baik bagi Roy. Begitupun sebaliknya, apa yang baik bagi Roy Citayam belum tentu juga baik bagi Stebby Julionatan sebab masing-masing kita memanggul salibnya sendiri. Bagi Roy, sebagaimana yang Roy sampaikan dalam link artikel di atas, ia berhenti bersekolah karena keluarga.

"Berhenti sekolah karena keluarga. Kan sakit, Emak saya waktu itu belum kerja. Yang perempuan sekarang udah meninggal."

Ya, Roy lebih memilih TikTok karena baginya saat ini, hal itulah yang dia perlukan. Dia tulang punggung keluarga. Dia harus bisa menghidupi keluarganya dari penghasilannya sebagai kreator konten di platform tersebut. Kawan, dia harus berhenti sekolah saat dirinya duduk di bangku SMP karena keluarganya. Tidakkah hal itu membuat kalian berempati? Ya, hal yang bagi kita (baca: pendidikan) adalah privilese, namun tidak bagi Roy. Itulah titik yang membuatnya tidak berdaya.

Karenanya, (saya mencoba memahami alasan Si Roy) ketika Sandiaga Uno menawarinya beasiswa pendidikan, Roy lebih memilih Tiktok ketimbang melanjutkan sekolahnya sebab jika dia sekolah, siapakah nantinya yang akan membiayai kehidupan keluarganya setiap harinya? Apakah keluarganya bisa hidup dengan layak ketika ia harus disibukkan oleh tugas-tugas sekolah? (Di sisi ini kurasa kita pun harus memahami dan mengakui bahwa pendidikan di Indonesia masih menekankan pada pemberian tugas-tugas yang berat kepada peserta didik sebagai syarat penilaian). Ya, hal itulah yang bagi kita, yang terlahir di "Keluarga Cemara", tidak merasakannya sehingga kita kurang sensitif dan tergesa untuk mencaci-maki.

Kawan, sampai di sini, kalau kawan-kawan masih belum paham... saya cuma mau bilang: "Buat kalian yang sukanya nyinyir, kalian belum tahu rasanya ga punya uang dan ga punya pilihan, dude!"

Ya, mari berempati. Mari menghargai pilihan orang lain.

Comments