I MAKE MY BODY AS A LABORATORY

Maybe I made a mistake yesterday
but yesterday's me is still me
These mistakes making up the brightest stars
in the constelation of my life
I have come to love myself for who I am.

Kim Nam-Joon


I love BTS, especially Kim Nam-Joon. Dan makin jatuh cinta pada leader Bangtan Sonyeondan yang memiliki julukan RM ini... saat mendengarkan pidatonya di hadapan Perserikatan Bangsa-Bangsa (baca: UNICEF) untuk mendukung program #ENDviolence pada 25 September 2018 silam, tepat di bulan lahirnya. What a love!  

Dan kalimat yang saya kutip di atas sebagai pembuka postingan blog kali ini adalah bagian dari pidatonya untuk UNICEF itu, untuk melindungi anak-anak dan remaja dari kekerasan (apapun bentuknya) di seluruh dunia.

I do totally agree with Nam-Joon, bahwa kekerasan yang kita alami sebagian besar berasal dari "diri sendiri". Karena bias kita. Karena konstruksi yang dibangun dari relasi kita bermasyarakat mengakibatkan kita memandang diri kita dari kacamata orang lain.

"My heart stop when I was maybe nine or ten. Looking back, I think that's when I began to worry about what other people though of me and started seeing my self throught their eyes."

Hal ini juga yang sebenarnya ingin saya sampaikan dalam postingan terdahulu mengenai HIRARKI SEKSUALITAS Gayle S. Rubin. Bahwa sejatinya, lewat hirarki 'yang baik' dan 'yang buruk', Rubin ingin menunjukkan dan membuktikan kepada kita bahwa seksualitas hanyalah konstruksi sosial. Siapakah yang menentukan sekualitas yang baik? Siapakah yang menentukan seksualitas yang buruk? Masyarakat! Ya, jawabannya adalah masyarakat.

Emmm, mungkin di antara kita juga ada yang tidak sependapat. "Nggak bisa begitu dong, Steb. Kan sudah ditentukan oleh ajaran agama, mana yang baik dan mana yang buruk..." Hmmm, jawaban saya pun akhinya cuma satu, "Bukankah agama juga konstruksi sosial?"

Norma-norma, aturan-aturan membelenggu kita dan kita lantas menilai diri kita menurut kacamata orang lain, kacamata norma, dan kacamata agama. Mana yang baik dan tidak baik untuk diri kita ornag lain dan norma-norma itu.

Apakah ini baik? Apakah memandang diri kita dari kacamata orang lain itu baik?

Bagi yang sanggup tentu saja bisa berkata "baik". But remember, each of us has different obstacle in live. Ada baiknya kita kembali mendengarkan apa yang disampaikan Nam Joon:

"I stopped looking up at the night skies, the stars. I stopped daydreaming. Instead, I just tried to jam myself into the moulds that other people made. Soon, I began to shut out my own voice and starts to listen to the voices of others. No one called out my name, and neither did I. My heart stopped and my eyes closed shut. So, like this, I, we, all lost our names. We became like ghosts." 

"No one called out my name and neither did I." dan "We become like gosts." adalah dua kalimat yang patut kita bersama garis bawahi di sini dan menjadi pusat perhatian saya. Ya, untuk apa saya hidup jika pada hakikatnya saya sudah mati? Saya seperti hantu dan saya sendiri pun sudah tidak mengenali diri saya sendiri.

Well, sejak masuk Kajian Gender, I make myself as a laboratory. Saya mencoba (atau belajar) untuk mencabut semua norma-norma atau konstruksi sosial itu. Terutama, kalau bagi diri saya pribadi adalah: saya belajar mencabut norma-norma dan konstruksi sosial yang ada di sekeliling isu-isu seksualitas dan agama. Saya tak lagi mengimani bahwa seks yang baik adalah yang heteroseksual, yang monogami, yang tidak erotis dan hanya ditujukan untuk kepentingan prokreasi. Dalam hal agama, saya tak lagi mengamini bahwa yang baik adalah yang monoteis sedang yang politeis berada pada seberang sisinya. Ya, saya tak lagi mengikuti mana yang baik dan yang buruk berdasarkan label yang sudah disematkan oleh masyarakat. Tetapi saya, mulai mendasarkan "yang baik" dan "yang buruk" berdasarkan pengalaman ketubuhan saya.

Well, rupanya, dalam kehidupan saya, yang seperti ini -mendasarkan yang baik dan yang buruk berdasarkan pengalaman ketubuhan, telah saya lakoni dari SMA. Saya tidak minum minuman beralkolhol bahkan Fanta, Sprite atau Coca-cola... dan saya tidak nyimeng bukan karena larangan agama, melainkan karena saya tidak (atau belum) merasakan manfaatnya dalam pengalaman ketubuhan saya. Mabuk itu membuat kepala saya pusing, tidak kreatif dan tidak bisa menikmati hidup. So, that's why I turn it off. Saya tidak menjadi peminum dan pemakai narkoba.

Di masa depan barangkali, namun belum saat ini.  

Aku pernah bilang hal ini ke Tanto, ke Dave, ke Baim, ke Wahyudi dan juga temen-temen dekatku di Probolinggo, "Eh, Rek, saiki  aku iki lagi ngawe awakku dewe koyok bahan penelitian. Mengko ojok kaget yo lek ndelok onok viral videoku naked atau bokep ML 2 menitan nang twitter. Lek mengko viral pokoknya aku pengen kalian ngerti disek. Ngerti ga dari orang lain, tapi dari aku sendiri." Ya, bahwa sejak aku mendalami isu mengenai seksualitas dan queer di Kajian Gender aku benar-benar menggunakan tubuhku sendiri untuk bereksperimen. Tubuhku adalah laboratoriumku. Mengenai part-part mana saja yang yang terangsang dan paling suka dirangsang, terangsang oleh apa, lebih menikmati mana berhubungan seks dengan laki-laki atau perempuan, suka BDSM apa nggak, lebih enak mana manfaatnya pada tubuh apakah masturbasi, video call, atau berhubungan seks langsung, dll.

Ya, imbas yang aku rasakan adalah: aku jadi lebih jujur pada diri sendiri. Lebih jujur pada pasangan. Belajar dan mempelajari (mengkomunikasikan) kepuasan masing-masing. Dan, tentunya, sama-sama menjapai puncak kepuasan seksualitas. Sama-sama puas. Hal yang dulunya tidak pernah saya pikir dan tanyakan saat berhubungan seksual.

Imbas memakai tubuh ini juga dalam hal pemikiran. Sekarang saya ga sibuk  untuk menjadi baik versi orang lain atau versi agama saya. Saya baik karena memang saya ingin menjadi orang baik. Saya tidak naif. Saya jujur mengakui apa yang saya sukai dan  apa yang tidak saya sukai. Serta, saya pun tidak terbeban jika pendapat atau apa yang disukai orang lain berbeda dengan pendapat saya atau apa yang saya sukai. Sebab saya menyadari, dalam pengalaman ketubuhan saya, bahwa perbedaan adalah hal yang hakiki, hal yang wajar dan tidak bisa dihindari selama kita menjadi manusia.

Comments