HAMBA HAYATI: DARI PUTRI INDONESIA KE MISS UNIVERSE

Saya laki-laki yang suka sekali menonton acara putri-putrian. Terutama menonton pemilihan Putri Indonesia dan Miss Universe. Sejak era kontroversi pakaian renang dan keberangkatan Alya Rohali, Putri Indonesia 1996, ke ajang Miss Universe 1997 di Las Vegas-USA, rasanya tak satu pun ajang putri-putrian itu yang saya melewatkan penayangannya. Bahkan bersama sodara dan bebarapa kawan di Probolinggo, kami pun tak jarang menggelar acara nobar layaknya para cowok nonton bola atau Piala Dunia. Dalam bahasa anak zaman sekarang, saya adalah seorang "pageant lover" atau "hamba hayati".



Kenapa saya suka acara putri-putrian? Tentu ini tidak lepas dari pengalaman saya sebagai seorang duta wisata, Kang Kota Probolinggo di tahun 2006 yang lantas diberangkatkan sebagai perwakilan kota/kabupaten untuk mengikuti kompetisi serupa di level provinsi, Raka-Raki Jawa Timur pada 2007. Kalau boleh sombong Putri Raemawasti, Putri Indonesia 2007 asal Jawa Timur adalah kawan saya.

Well, ajang putri-putrian macam Putri Indonesia dan Miss Universe dahulu menyokong moto 3B, yakni “Brain, Beauty, and Behaviour” yang lantas dalam perkembangannya diikuti oleh B B lainnya seperti Believe, Brave, dan Be Confidence. Dengan begitu para peserta atau finalis ajang ini adalah para perempuan yang sangat menyegarkan mata saya sebab mereka adalah para perempuan yang harus memenuhi standar kriteria dan tuntutan cantik, proporsional, cerdas, berani, dan percaya diri dari sponsor dan para dewan juri. Di Kajian Gender para pemodal (sponsor) dan para dewan juri ini digolongkan sebagai kelompok kapitalis atau perwakilan pemilik modal yang memiliki relasi kuasa yang tinggi terhadap para perempuan kontestan ratu kecantikan karena merekalah yang menentukan labelisasi "perempuan baik-baik" layak disematkan kepada perempuan yang seperti apa.

Masuk di Kajian Gender saya mengetahui bahwa para pemikir feminis, kususnya para feminis radikal dan psikoanalisis, telah lama memperjuangkan penghapusan terhadap pemilihan ratu kecantikan yang dianggap eksploitatif. Para feminis awal tersebut cenderung melihat perempuan sebagai “korban” dan tidak melihat fokus ajang putri-putrian sebagai arena perempuan untuk memiliki eksistensi.

Lewat buku Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati, saya pun akhirnya mengetahui bahwa ada pemikiran lain kelompok feminis yang membuka ruang pemaknaan bagi ajang putri-putrian semacam Putri Indonesia dan Miss Universe. Ajang putri-putrian bagi feminis kultural dan post-modern tak ubahnya seperti “permainan yang menyenangkan”.

“Sebuah permainan tidak perlu dipoles dengan alasan moralistik yang palsu. Perempuan  “baik-baik” atau perempuan “tidak baik” sangat relatif sifatnya. Tidak bisa ditentukan oleh lenggak-lenggok di catwalk dan baju renang.”

“Sebuah permainan hanya perlu menetapkan aturan main yang adil untuk semua pihak.”
Dalam artikel berjudul Pemilihan Putri "Miss Universe": Campur Tangan Negara Hingga Ulama yang ada dalam buku tersebut, Gadis mencontohkan Lara Dutta, Miss Universe 2000 yang berasal dari India, sebagai sosok perempuan yang sadar akan posisinya dalam permainan dan mampu mengemukakan pendapatnya secara kritis kepada publik.

Maka... di tahunnya menjabat sebagai Miss Universe, lewat advokasinya yang kritis, Lara Dutta bukan saja menjadi tempat ajang bisnis yang subur bagi kosmetik tetapi juga menjadi duta UNFPA, sebuah lembaga internasional yang mempunyai kepedulian terhadap hak-hak reproduksi perempuan.

“Yang tidak boleh ditolelir adalah mensakralkan permainan tersebut menjadi suatu kebenaran mutlak demi kepentingan bisnis atau kepentingan pandangan moralitas agama tertentu.”

Bagi Gadis, siapapun boleh mengikuti ajang putri-putrian. Ia bersepakat dengan Lara Dutta dan meyakini bahwa ajang putri-putrian bukanlah merupakan masalah nonfaktor, yang sama sekali tidak termasuk isu-isu penting perempuan. Ajang putri-putrian serupa trend fashion yang tak menentukan standar moralitas dan boleh diikuti atau tidak. Dengan memenangkan kontes dan menjadi "Putri" tak lantas atau semerta-merta akan menjadikan seorang perempuan "lebih baik" atau "lebih buruk" dari perempuan yang lain. Ia hanyalah sebuah trend fashion yang boleh diikuti atau tidak. Dan, seperti fesyen-fesyen lainnya, suatu hari kelak, fesyen tersebut akan berganti dan menjadi usang.

Comments

  1. Aku sejak masih SD juga sangat suka acara Beauty Pageant, karena aku ingin menyerap kecerdasan mereka. Mama bilang, cantik bisa dipermak, kecerdasan dan kepribadian yang butuh usaha. Makanya aku belajar bahasa asing akhirnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Reffi terima kasih buat komentarnya. Aku pengen belajar sepertimu. Menjadi seorang blogger.

      Delete
  2. Enggak ada yang salah lho dg ajang putri-putrian. Karena gabungan kecantikan luar dalam itu memang ada. Kalau pun diangggap kecantikan dalam itu lebih unggul ya bisa saja. Tapi seberapa byk orang seberuntung punya dua2nya kan. Ajang ini menantang yang sudah dibekali cantik lahir akhirnya berpikir ttg cantik dalam. Sebaliknya. Dikejar dua2nya juga sah enggak ada yg lbh baik karena setiap orang ada ukurannya masing2.

    ReplyDelete

Post a Comment