DID I KNOW SEX?

 Ya, apakah seorang Stebby yang saat itu mengenal kenikmatan melacap melalui iklan celana dalam pria itu meengenal seks? Baik dalam artian jenis kelamin maupun hubungan perkelaminan? 

"Tidak!". Atau... 




"Belum!". Kurasa "belum" adalah kata yang lebih tepat untuk menggambarkan keadaan dan pengalamanku saat itu. Ya, seorang Stebby... yang aku duga usianya saat itu masih 8 tahun (dan sudah kelas 4 SD) tersebut hanya mengenal kenikmatan yang berasal dari menikmati tubuh-tubuh seksi pria alam balutan celana dalam, tanpa mengenal seks itu apa. Ya, ia tahu kalau dirinya laki-laki dan memiliki penis, tapi dia belum tahu benar laki-laki itu apa dan konstruksi gendernya bagaimana. Soal lelaki yang diharapkan masyarakat harus berpenamilan maskulin, yang harus suka warna biru ketimbang pink, harus suka sama perempuan dan menyukai sama lelaki itu dilarang dan dianggap azab, dsb dsb. 

Di masa ia kecil, membicarakan seks (jenis kelamin) adalah hal yang masih cukup tabu. Antara aku dan orang tuaku tak banyak membicarakan seks, semisal memberi tahu kapan nanti kira-kira aku akan mimpi basah, tenggorokan sakit karena suara akan membesar, tubuh-tubuh yang mulai ditumbuhi rambut, atau bahkan... untuk membicarakan sunat saja tidak pernah. Kami mulai membicarakan sunat itu saat aku akan masuk SMP. Aku sih mau aja, dan maunya aku bukan karena bagian dari tuntunan agama, tapi karena dengan sunat aku bisa dapet Nitendo. Well, cukup absurd kan???

Apalagi membicarakan seks dengan tema hubungan perkelaminan... wah jelas tidak pernah. Itulah sebabnya mengapa aku menyampaikan bahwa di usiaku yang masih 8 tahun itu, aku belum mengenal seks. Bahwa hubungan seks dalam pengertian yang heteronormatif adalah penetrasi penis (harus laki-laki) pada vagina (harus perempuan).   

Gini ini aku jadi teringat salah satu sesi perkuliahanku bersama Prof. Meiwita. Saat itu di kelas, aku dan beliau tengah membicarakan isu mengenai kawin anak. Ya, selain isu LGBTQ, isu kawin anak adalah concern issue yang sering kuangkat dalam perkuliahan. Aku sedih karena anak-anak ini, bagikut, terasa... atau lebih baik jika kusampaikan dalam kalimat tanya ya: "Apakah kalian tidak memiliki impian yang ingin kalian gapai selagi masih muda?" "Kenapa buru-buru menikah sih?" "Apa enaknya kawin itu?" Karena jujur aku ga paham. Bagiku, kalau hanya untuk urusan kenikmatan aku tinggal masturbasi. Ga perlu susah-susah mengurus segala tetek bengek konsekuensinya, ada anak atau istri. Atau,  aku tinggal beli saja nih sesuai kriteria yang kumau ketimbang mengorbankan segala kesenangan-kesenangan masa kecilku.

Lalu, aku yakin kalian, temen-temen pasti bertanya... "Biadap, lu Steb! Ga punya agama ya?"

Wait... sabar... santai... relax dulu. Bukankah di awal tadi pertanyaannya adalah apakah aku mengenal seks? Atau, sejak kapan aku mengenal seks? Mari kita kembali ke pertanyaan awal sebelum ke nilai-nilai agama yang 'songong" dan serba menghakimi itu.

Ya, Stebby yang masih kelas 4 SD tersebut belum mengenal istilah-istilah dosa. Ga kenal konsep agama secara baik. Aku baru mengenal istilah dosa ketika aku membaca komik yang bangke n sialan berjudul "Siksa Neraka". Lewat komik mengerikan itu aku dikasih gambaran-gambaran mengerikan mengenai neraka. (Ya Allah, kenapa aku ga kenal Surga dan Neraka-nya versi Dante dulu ya ketimbang ini). Maka, dari sanalah bias agama dalam kehidupanku mulai muncul. Dogma agama versi mayoritas yang mengatakan bahwa masturbasi itu dosa (karena itu ga prokreasi) dan menyukai cowok dalam iklan celana dalam pria itu salah (karena itu homoseksual bukan heteroseksual).

Dua konstruksi itu yang menekan dan mengoperesi selama bertahun-tahun hingga aku mendalami isu gender...

Comments