RUBIN DAN HIRARKI SEKSUALITAS

Seks (dalam artian hubungan seksual) selalu dianggap tabu. Sesuatu yang berbahaya untuk dibicarakan dan negatif. Perilaku erotis pun demikian, ia senantiasa dianggap buruk --kecuali punya alasan khusus seperti pernikahan dan reproduksi. Di luar itu? Di luar kedua hal yang tersebut perilaku erotis dianggap cabul, tak pantas, tak senonoh, dosa, perilaku yang maksiat dan mengundang syahwat.


sumber: https://www.motherjones.com/wp-content/uploads/2017/08/425_20170802_vietnam_s0952.jpg

Gayle Rubin di dalam Thingking Sex: Notes for A Radical Theory of The Politics of Sexuality (1984) menulis bagaimana perang terjadi akibat seks (sex war). Tentang penangkapan terhadap kelompok gay di tahun 1950-an yang dilakukan untuk melindungi anak-anak dan generasi muda kulit putih borjuis di Amerika dari perilaku homoseksual. Kepanikan seksual (sexual panic) terjadi di semua lini masyarakat termasuk aparatur negara. Bahkan, framing-framing yang dimunculkan terhadap kelompok minoritas seksual tersebut disambut oleh politikus dan ramaikan oleh media. Rubin menyebutnya sebagai sex negativity, yakni ketakutan yang disebabkan oleh anggapan/pandangan yang buruk terhadap seks.

Tak saja seks yang dianggap buruk, namun Rubin juga menuliskan bahwa budaya populer saat itu -- yang dipenuhi dengan keragaman erotis, juga berbahaya, tidak sehat, bejat dan merupakan ancaman nasional.  Ideologi seksual populer adalah ideologi yang harus dihindari oleh warga negara karena tida bermoral, menyebabkan dosa, dan laiknya setan yang selalu melakukan propaganda.

Rubin lantas memperkenalkan istilah hirarki seksualitas (hierarchies of sexual). Menurut sistem ini, seksualitas yang 'baik', 'normal', dan 'alami' idealnya adalah heteroseksual, kawin, monogami, reproduktif, non-komersial, berada di dalam rumah dan seharusnya tidak melibatkan pornografi seperti objek fetish, sex toys, atau permainan peran laki-laki dan perempuan. Selain hal tersebut adalah seksualitas yang 'buruk', 'tidak normal', dan 'menyimpang'. Misal, perilaku homoseksual, tidak menikah, non-prokreasi atau seks komersial.

Diantara kategori yang baik dan buruk dalam diagram tersebut ada yang di tengah. 'Yang buruk' tapi “masih baik”. Misalkan pada perkawinan paksa namun heteroseksual, orang yang tidak menikah tapi heteroseksual, atau pasangan homoseksual yang membagi peran gender dengan jelas dan monogami. Masyarakat masih 'menerima' hal tersebut karena dianggap maih terhormat. Namun memang, tak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan perilaku homoseksualitas, sadomasokisme, fetisisme, transeksualitas, masuk ke dalam kategori 'yang buruk'. 

Seperti halnya gender, bagi Rubin seksualitas juga bersifat politis yang diatur dalam sistem kekuasaan, memberi penghormatan, penghargaan, dan mendorong beberapa individu, sementara ia menghukum dan menekan yang lain. Orang-orang dengan identitas LGBTIQ+ dalam teori Rubin merupakan seks yang dianggap bersalah karena tidak berproduksi, mengandung unsur erotis, bejat, melibatkan pornografi, tidak alami, mengamini ideologi seksual popular, dan dicap sebagai pendosa. Untuk bisa dianggap masih 'yang baik' dalam hirarki seksualitas rubin, orang-orang dengan identitas LGBTIQ+ pun akhirnya mengikuti apa yang dianggap sebagai 'yang baik' dalam masyarakat.

Berkaca dari apa yang disampaikan Rubin dan menyambung dengan postingan sebelum ini DID I KNOW SEX? maka apa yang menimpa Stebby selanjutnya adalah mengikuti apa yang dianggap sebagai 'yang baik' oleh masyarakat... apalagi ketika di sekolah ia harus belajar ilmu agama. Di sanalah perang seks pertama bagi seorang Stebby. 

Comments