: tulisan ini telah dimuat dalam buku Hidup Ini Indah, Bro! (Padmedia, 2021) dengan judul Keluar Tanpa Pesangon
Tahun ini aku keluar dari Diskominfo. Ya, tahun ini aku resign
sebagai pegawai Pemkot Probolinggo. Jadi, aku bukan lagi pegawai Pemkot
Probolinggo, bukan lagi orang Diskominfo atau Humas yang biasanya belusukan
kesana-kemari di acara-acara pemkot untuk melakukan reportase dan menulis
berita, termasuk… kuakui jika hal inilah yang membuat aku paling
kehilangan, aku bukan lagi penyiar Radio
Suara Kota, radio yang telah memberi ruang dan membesarkan namaku selama lebih
kurang 10 tahun. Ya, tahun ini aku hidup tanpa embel-embel apapun. Aku
bayangkan, sekarang diriku seperti seorang anak kecil yang sedang berdiri di
antara 2 pintu. Satu pintu yang sudah kututup, dan yang satunya adalah pintu
yang tengah kunanti dengan penuh harapan juga kecemasan untuk terbuka dan
mempersilahkanku masuk.
Mengapa aku keluar? Ketika keputusan ini kubuat, banyak
sekali pertentangan yang datang. Banyak sekali orang-orang yang menyayangkan;
termasuk keluarga, orang-orang gereja, kawan dan kerabat, bahkan orang-orang
terdekatku. Tak hanya dari luar, di internal diriku, aku juga merasa bahwa ini
adalah sebuah keputusan dari pilihan yang sulit. Aku mengakui pendapat mereka
yang menentang, katanya: “Ngapain sih keluar? Kan sudah enak, sudah jadi
ikon.” Ya, tak dapat kupungkiri bahwa hal tersebut kugumuli selama setahun
belakangan –tepatnya, sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia di Maret 2020
dan aku memutuskan untuk kembali ke kampus. Pertimbangannya satu: Aku ingin
berkembang.
Jujur, pandemi memang mengubah segalanya. Termasuk cara
pandangku pada kehidupan. Aku merasa bahwa hidup kita –manusia, tidaklah
panjang sehingga harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Kita tak mungkin lagi untuk
bersantai-santai sebagaimana yang sering kulakukan pada masa-masa sebelum
pandemi. Maksudnya, aku ingin menikmati hidup semaksimal mungkin. Sebelum
tiada, aku ingin melihat dan menikmati kesuksesanku. Atau paling tidak, jika
Tuhan tak berkenan memberikanku umur yang panjang, atau tak berkenan memberi kesempatan
untuk menikmati keberhasilanku, setidaknya aku telah menikmati dan bangga
dengan perjuanganku meraihnya. Sehingga, jika suatu hari Ia memanggilku, maka
aku pun akan datang menghadapNya dengan penuh senyum dan kerelaan sambil
berkata: “Inilah aku anakMu, ya Tuhan. Terima kasih telah memberiku kesempatan
dalam Hidup.”
Ya, aku merasa capek dan tertekan. Aku merasa tak lagi bisa
berkembang jika aku tetap di Diskominfo atau Pemkot Probolinggo. Aku hanya akan
merusak kerjasama tim yang sudah dibangun jika aku tetap ada di sana dan setiap
kali meminta izin untuk kepentingan pengembangan diriku sendiri. Hal-hal
seperti itulah yang membuat nuraniku merasa bersalah. Ketika tidak bisa
mendahulukan kebutuhan/kepentingan kantor menjadi prioritas utama dalam kehidupanku.
Bukankah aku dibayar oleh rakyat? Maka, bagiku, bukankah seharusnya aku
mendahulukan kepentingan rakyat dalam bentuk mengutamakan pelayanan yang sudah
menjadi tugas dan tanggung jawabku sebagai pegawai Diskominfo Kota Probolinggo.
Aku akui tak mudah memang untuk melepaskan itu semua.
Penghasilan bulanan, perasaan dihargai dan dihormati, “sorot lampu”
popularitas, hangat kekeluargaan rekan sekerja, dan berbagai privilege
lainnya adalah pelbagai hal yang tak mudah untuk kulepaskan begitu saja ketika
aku tak lagi mengenakan “seragam” Pemkot Probolinggo. Namun… ya itu tadi,
demi kata “Hidup” itulah aku harus rela melepaskannya. Aku harus rela “dipindahkan”
ke dalam pot baru yang lebih besar saat akar-akarku di tempat yang lama sudah
penuh sesak dan mentok. Aku harus berani pindah ke kolam yang lebih luas
jika aku ingin Hidup –dan tak hanya jadi jago kandang.
Ya, seperti yang sudah kusampaikan di awal, pandemi
mengubah segalanya. Saat aku jenuh dengan agenda-agenda “di rumah saja” dan
peraturan WFH, di saat itulah aku terinspirasi oleh podcast Gita
Wirjawan dan Dian Sastro. Isi keseluruhan podcast tersebut memang menarik,
yakni mengulik perjuangan Dian di dalam dan di luar dunia keartisan. Namun,
yang menjadi sorot perhatianku saat itu adalah perkataan Dian, “Saat pandemi
ini sebenarnya adalah saat yang paling baik untuk belajar. Untuk kembali ke
sekolah.” Kira-kira beginilah pesan Dian yang kutangkap: Hidup di dalam
ketidakpastian memang tidak enak. Namun, apabila kita menunggunya dengan
belajar, dengan menambah ilmu dan keterampilan. Maka, jika wabah ini telah
berakhir, setidaknya kita punya lagi tambahan tambahan amunisi untuk makin
Hidup, semakin menjadi Manusia.
Hal itulah yang memompa keberaniku untuk mendaftar ke
Universitas Indonesia; kampus yang selama ini aku idam-idamkan. Aku pun belajar
dengan sungguh-sungguh agar aku dapat lolos dalam SIMAK UI. Singkat cerita, bulan
November 2020 aku terbang ke Jakarta untuk mengikuti ujiannya, dan bulan
Desember aku dinyatakan lolos dan diterima di program pendidikan pasca sarjana
Sekolah Kajian Stratejik dan Global, S2 - Kajian Gender, Universitas Indonesia.
Di sinilah letak pintu persimpangan itu. Ketika aku
memutuskan UI, maka tak bisa lagi aku mengandalkan penghasilanku sebagai tenaga
PTT di Pemerintah Kota Probolinggo. Hitung-hitungannya berat. Per bulan aku
harus menyediakan sejumlah dana, yang itu berarti aku harus banyak meninggalkan
tugas dan tanggung jawabku sebagai pegawai dan penyiar radio, padahal aku
digaji oleh mayarakat untuk melayani mereka, ya kan? Sementara itu, di
lain sisi, permohonan izin belajarku ditangguhkan oleh BKD karena aturan
mengenai kontrak kerja yang diperpanjang setiap satu tahun sekali bagi pegawai
tidak tetap, maka sulit bagi bagian Kepegawaian untuk memberikan izin bagi perkuliahan
yang akan memakan waktu selama 2 tahun.
Aku terima konsekuensinya. Tak ada pilihan lain selain
mundur. Kuanggap, langkah ini adalah beberapa langkah mundur yang sedang
kulakukan agar aku bisa membuat tolakan kuat bagi lompatkanku di masa depan. Di
titik tersebut, aku pun menghubungi orang tuaku. Aku menyampaikan putusan dari
hasil pergumulanku selama setahun belakangan ini dan memohon restu mereka. Ya,
bagi diriku yang konservatif, langkah tersebut masih sangat-sangat perlu kulakukan
agar memperoleh kekuatan.
Memang, selepas dari Diskominfo atau Pemkot Probolinggo aku
tidaklah benar-benar menganggur. Aku bergabung dengan kawan-kawan di Trisakti
Center – Jakarta sebagai penulis laporan keberlanjutan, atau… aku pun
menawarkan jasa penulisan biografi kepada para relasi yang membutuhkan. Namun,
ya mungkin karena itu tadi, bagi diriku yang konservatif, dunia kerja yang sangat
liquid dan tanpa kantor seperti yang saat ini tengah kujalani adalah
sebuah kegamangan tersendiri yang saat ini tengah kucoba untuk kuatasi.
Tahun ini aku keluar dari Diskominfo. Ya, tahun ini aku resign
sebagai pegawai Pemkot Probolinggo, tanpa pesangon. Sebab Pemkot pun tidak
menjamin hak-hak PTT dalam bentuk perlindungan hari tua di BPJS Ketenagakerjaan
sebagaimana yang Pemkot wajibkan bagi perusahaan-perusahaan swasta pada pegawai
mereka. Tapi jujur, bukan itu masalah yang tengah aku persoalkan saat ini,
melainkan kesiapan untuk meniada. Ya, pada intinya kita bukanlah siapa-siapa.
Kita lahir, tumbuh dan berkembang, serta mendewasa adalah untuk memberi makna
dalam kehidupan ini. Perkara besok atau nanti kita diambil, itu persoalan lain,
namun yang terpenting adalah kita telah berusaha untuk memenuhi panggilan kita
sebagai manusia untuk Hidup.
Ya, tahun ini aku bukan lagi pegawai Diskominfo atau
seorang penyiar radio di radio terbaik di Kota Probolinggo, Suara Kota. Satu
pintu telah kututup. Dan kini, aku berharap pintu yang lainnya terbuka dan
mempersilahkanku masuk. Membawaku pada pengalaman-pengalaman baru, agar aku tak
menyesali kodradku sebagai Manusia. Semoga!
Probolinggo, 6 Mei 2020.
Comments
Post a Comment