Jenis : Reportase
Penulis : Doan Widhiandono & Noor Arief Prasetyo
Penerbit : Padmedia
Cetakan : Pertama, 2022
Tebal : xvii + 278 halaman
ISBN : 978-623-5654-03-4
Saya
teringat perkataan Cletus Kasady, tokoh villain dalam Venom: Let There Be Carnage
(2021). Di film yang masuk dalam semesta Mavel Cinematic Universe (MCU)
tersebut, sebelum Kasady membacakan sebuah puisi indah kepada Eddie Brock –sang
superhero yang memiliki latar belakang sebagai jurnalis investigasi, ia
memulainya dengan kalimat: “People love serial killer, Eddie. And I will give
you my story.” Beratus-ratus kilometer jauhnya dari San Fransisco, di jagad
non-fiksi, setahun sebelum film tersebut diluncurkan ke publik, Doan
Widhiandono dan Noor Arief Prasetyo melakukan perjalanan ke Lapas Khusus Gunung
Sindur – Bogor untuk menjumpai Very Idham Henyansyah. Kurang lebih 900
kilometer perjalanan yang harus ditempuh oleh kedua wartawan senior tersebut,
dari Surabaya ke Jakarta dan dari Jakarta ke Bogor, untuk menjumpai terpidana
mati yang dahulu di 2008 ramai disebut orang dengan sebutan “Ryan Jagal
Jombang”.
Tapi
saya tak ingin memanggil Ryan dengan sebutan “jagal”. Dia memang membunuh dan
jumlah korbannya tidaklah sedikit, ada 11 orang, tapi biarlah hal tersebut
sebagai masa lalunya. Saya tak ingin menghakiminya dengan meletakkan “jagal”
sebagai kata yang memiliki hierearki nilai dan negatif. Jagal mungkin nanti
akan saya gunakan tapi dalam pengertian yang lebih netral. Lagipula, seperti
yang diceritakan oleh Doan dan Arief dalam buku ini, rentang 12 tahun di
lembaga permasyarakatan telah membawa banyak perubahan dalam kehidupan Ryan. Ia
jadi rajin salat, puasanya tak pernah lepas -ia melakukan puasa kafarat selama
dua tahun penuh, bahkan ketika ditemui oleh Doan dan Arief pada pertengahan
Oktober 2020 lalu, Ryan baru saja dinyatakan lulus sebagai penghafal Al-Qur’an.
Diakui
Doan dan Arief bahwa tulisan-tulisan mereka yang terkumpul dalam buku ini dipantik
oleh rasa penasaran pada nasib Ryan saat ini, pasca 12 tahun menjalani penahanan,
terlebih setelah menerima buku Misteri Kasus Rian: Pembunuhan Berantai
terbitan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (2013) pada awal 2020. Wabah pandemi
COVID-19 membuat keduanya harus sedikit menunda keberangkatan hingga Oktober
2020. Dari sanalah tulisan-tulisan dalam buku ini lahir, reportase pembunuhan
berantai yang dilakukan Ryan, dimuat secara bersambung pada Oktober-Desember
2020 di harian Disway, lantas dibukukan dan terbit dengan judul Ryan
Transformasi sang Jagal Jombang (Februari 2022).
Buku Ryan
Tranformasi sang Jagal Jombang dicetak setebal 278 halaman, ini lebih tebal
dari buku The Untold Story of Ryan karangan Ryan sendiri (128 halaman) yang
saat ini keberadaannya telah ditarik dari pasaran. Dalam pengantarnya, Dahlan
Iskan sempat berseloroh bahwa dengan terbitnya buku ini maka tak ada lagi
misteri yang tersembunyi paska kepergian Ryan nanti. Tapi apakah benar
demikian?
Transformasi Ryan
Homines
arcani sunt et implicatae creaturae. Misteri dan kompleksitas manusia
tidak akan pernah habis untuk digali; meski nantinya akan ada banyak peneliti
dan jurnalis yang menulis soal Ryan. Pepatah tersebut secara implisit
menjelaskan bahwa misterilah justru yang membuatnya (baca: Ryan) menjadi manusia;
karena kompleksitasnya. Misteri pula yang membuat kita –sebagai manusia, memburu
pengetahuan, membuat kita bergerak dan tak terperangkap pada kejenuhan
rasionalitas.
Perubahan
kebiasaan Ryan dari sosok pembunuh sadis sebagaimana yang diceritakan penulis ke
sosok yang lebih spiritual bagi saya pribadi masih menjadi misteri. Hal apakah yang menggerakkannya?
Benarkah sebuah penyesalan yang total? Hal yang (di satu sisi) dianggap sebagai
buah “keberhasilan” dari proses “pendidikan” yang dilakukan oleh lembaga
permasyarakatan dan tentunya juga menjadi hal yang “menyenangkan” untuk dibaca
dan didengar oleh masyarakat awam. Namun, (di sisi lain) kita juga tak dapat
menyangkal bahwa beberapa temuan ilmiah telah membuktikan bahwa perubahan kadang
hanya terjadi pada lapisan luar (perilaku) yang tidak melibatkan kesadaran. Misal,
pada Psyco Cybernetics (1960) karangan Maxwell Maltz yang menyebut bahwa
manusia “hanya” memerlukan 21 hari untuk mengubah kebiasaannya. Atau, Michael Foucault
yang menjabarkannya dalam teori “pendisiplinan tubuh” (1975), yakni suatu upaya
menguasai tubuh subjek agar menjadi individu baru yang diharapkan bahkan tanpa
disadari oleh subjek tersebut.
Tulisan
Doan dan Arief ini secara naratif gencar menyeret pembaca bahwa Ryan kini telah
berubah menjadi lebih saleh. Hapalan Al-Qur’an, caranya berpakaian, kesantunan
saat menjawab pertanyaan, keakrabannya dengan keponakan dan para napi lain,
bahasa kasih dan kehangatan yang ditunjukkan Ryan pada ibunya, Siatun, serta
surat permohonan grasinya kepada Presiden yang meminta waktu untuk
menyelesaikan kafarat. Tapi apakah benar itu sebuah kesadaran ataukah sebuah
hasil dari proses pendisiplinan?
Menikmati
reportase yang lancar kedua jurnalis senior ini, saya sangat berharap ada turning
poin, yakni proses kesadaran internal Ryan yang dapat ditangkap dan
kemudian mereka tuliskan. Tapi tetap saja “transformasi” yang dimaksud keduanya
hanyalah transformasi “kulit”; baju gamis panjang dan peci penutup kepala serta
azan yang selalu menjadi pengingat Ryan untuk menghentikan kegiatannya (Bab 28.
Ingin Pindah ke Sidoarjo, Mulai Bertransformasi). Meski tak salah melihat
spiritualitas dari kacamata kuantitatif, tapi saya berharap melihatnya pula secara
kualitatif.
Bias Heteronormatif
Misteri
lain yang masih menggantung di benak saya adalah orientasi seksualitas Ryan
yang dikatakan penulis telah melepaskan kehidupan gay-nya dan menjadi “normal”.
“Dia
juga pernah ingin hdiup normal dan menikahi srang perempuan. Tetapi, kondisinya
memang belum memungkinkan. Ryan bahkan menawarkan diri untuk memberikan
konseling bagi mereka yang ingin keluar
dari dunia LGBT.”
Juga pada:
“Ryan
memang punya dasar agama yang cukup. Karena itu, saat begitu jauh tersesat, dia
tetap bisa menemukan jalan kembali. Salah satu caranya adalah mendekatkan diri
kepada Allah.”
Di
sinilah saya merasa Doan dan Arief masih terjebak dalam kerangka heteronormatif.
Tak hanya terjebak pada pemikiran bahwa menjadi heteroseksual itu yang “normal”
dan berkedudukan lebih baik ketimbang “gay”, tapi juga terjebak pada
pemikiran-pemikiran yang berikut saya pertanyakan: Apakah seorang gay tidak
bisa menikah dengan perempuan? Apakah gay tidak bisa memanipulasi ereksi penisnya
ereksi ketika diperhadapkan pada perempuan yang telanjang? Dan, apakah seorang
gay tidak bisa membuahi sel telur? Lalu, apakah jawaban untuk “menjadi normal”
adalah dengan dasar agama? Bagaimanakah Doan dan Arief dapat menjelaskan
pijakannya itu pada kasus Herry Wirawan, kyai yang didakwa memerkosa 13
santriwati?
Judith Butler, filsuf yang subjek penelitiannya berfokus
pada teoretisi gender, mengatakan bahwa gender itu performatif dan sifatnya
adalah pengulangan. Di budaya kita saat ini, normanya setiap orang harus
berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Lelaki harus maskulin dan perempuan
harus feminin. Itulah sebabnya mengapa bayi yang terlahir dengan alat kelamin
ambigu, pada akhirnya harus dioperasi untuk “menormalkan” alat kelaminnya;
membuat tubuh bayi menjadi lelaki atau perempuan.
Didikan
di dalam lembaga pemasyarakatan telah mengkonstruksi dan menkonversi orientasi
seksualitas Ryan, dan Ryan menerimanya. Ia dikonstruksi untuk menganggap bahwa
orientasinya jahat, berdosa, melenceng, dan harus “dinormalkan”. Apalagi, jika
kita mengingat statusnya sebagai seorang terpidana mati yang ingin dilepaskan
dari jerat hukuman matinya, maka pertanyaan saya selanjutnya, apakah hal
tersebut murni sebagai buah dari kesadaran ataukah efek dari pendisiplinan
tubuh yang kita semua tidak tahu sampai kapan tubuh Ryan kuat merengkuh semua
pendisiplinan itu.
Probolinggo, 9 April 2022.
*tulisan ini telah dimuat di tatkala.co pada 19 Mei 2022
Comments
Post a Comment