Dear
Stebby di usia 15 tahun,
Terima kasih untuk tak bunuh
diri, karena bagaimanapun perkosaan dan pelecehan seksual bukanlah sesuatu yang
menyenangkan untuk kau alami di usia tersebut. Apalagi pelakunya adalah orang
yang telah dianggap “keluarga” oleh keluarga besarmu, sehingga kau pun
memanggilnya dengan sebutan Om.
Stebby, saat surat ini kutulis
media lagi ramai soal perkosaan yang dilakukan oleh bribda polisi bernama
Randy. Ia meniduri pacarnya, Novia Widyasari hingga hamil. Si Bripda enggan
bertanggung jawab, upaya gaslighting*) dilakukan agar Novia menggugurkan
kandungan. Novia tidak mau, dan Randy pun seperti yang disampaikan media, hilang
kabar. Novia pun berinisiatif menyampaikan hal tersebut ke orang tua Randy
namun upayanya mengalami kebuntuan. Orang tua Randy menolak untuk menikahkan
Novia dengan alasan Si Bribda masih punya kakak yang belum menikah dan Randy masih
baru jadi polisi. Novia, selanjutnya, mencoba mencari pembelaan pada keluarganya
sendiri. Tapi nahas, bukan dukungan yang ia dapatkan namun malah makian dan
ancaman pembunuhan karena Novia dianggap mencoreng nama keluarga.
Stebby, tragis memang menjadi
korban. Dalam posisimu kau pun saat itu tidak bisa menceritakannya kepada
siapapun karena posisi si pelaku yang demikian kuat di keluarga besarmu. Dia
kawan akrab tante dan mamamu, dan sudah dianggap omamu sebagai anaknya sendiri.
Mencari dukungan dan melaporkannya sama seperti menggali lubang kuburmu
sendiri.
Korban-korban perkosaan pun
ditanyai aneh-aneh oleh polisi: “Apakah kamu yakin kalau kamu tidak
menikmatinya?”; “Tapi kamu terangsang, kan?”; “Penis kamu berdiri, kau
mengeluarkan mani, dan kau merasa nikmat setelahnya kan?”; “Baju apa yang kamu
gunankan? Apakah bajumu sopan?”; “Apakah kamu yakin bukan kamu yang menggodanya
karena penampilanmu yang cenderung feminin?” Ah, f**king shit with those
dumb questions. Menyebalkan memang ketika kau tahu dan menyadari bahwa
posisi para korban sepertimu bukannya ditolong malah semakin dibingungkan oleh
sekian pertanyaan administratif yang harus dijawab. Kamu, juga para korban
perkosaan yang lain pun akhirnya memilih diam. Kalian enggan bercerita. Kalian
merasa lebih baik menyimpannya rapat-rapat di dalam folder “Ingatan Pedih yang Ingin
Dilupakan”, sebab memori kelam itu benar-benar tak bisa begitu saja dihapus
selayaknya sebuah file di komputer. Dalam kasusmu, di sini aku harus sekali
lagi berterima kasih kepada dirimu Stebby, kau menuliskan setiap bagian
amarahmu itu ke buku harianmu. Saat itu mungkin kau tak tahu, kau juga tak
sadar, bahwa yang kau lakukan adalah sebuah terapi mental.
Selama seminggu lebih kau
menangis setiap malam dalam senyap. Kau enggan bersekolah, tapi kau tidak bisa
mengatakan alasannya sehingga rutinitas harianmu bergerak seperti robot; tanpa
jiwa. Nilai-nilaimu sedikit merosot. Kau menjadi anti sosial. Kau takut pada
Bertus dan Dian, teman SMAmu, tanpa alasan yang jelas. Kau menghindari acara
Natal keluarga di rumah Oma. Kau bersembunyi di kamar saat Hari Raya karena
biasanya di saat itulah ‘ia’ akan mengunjungi kedua orang tuamu dan saling
berucap “minal aidzin wal faidzin”.
Kau takut berada di pemandian
umum terutama di tempat bilas bersamanya. Kau merasa tidak nyaman jika berduaan
saja dengan orang laki-laki yang lebih senior sebab kejadian serupa pun
nantinya hampir menimpamu tiga kali. Kau benar-benar bingung dengan dirimu dan
bertanya, “Apakah penampakanku seperti sex toy yang mengundang fetish
dan hasrat seksual seseorang untuk melampiaskannya?” Ya, kau sempat takut pada kata
cinta dan relasi seksual hingga kehadiran Nanda dalam kehidupanmu mengubah
semua ketakutanmu itu. Dalam diri Nanda kamu menemukan cinta sejati pertamamu.
Terima kasih Stebby untuk kesabaranmu menunggu selama delapan tahun hingga
Semesta mempertemukan kalian.
Stebby di usia 15 tahun, terima kasih ya. Kamu sudah mau sabar dengan isu “lutut kopong”, mau sabar dengan isu bahwa kamu “berdosa”, “tidak perawan”, dan “anusmu sudah dol karena pernah dipake”. Pendidikan seks begitu tabu di zamanmu hingga lulus SMA pun kamu masih meyakini bahwa bayi dilahirkan dari pusar. Begitu tabunya kata seks dan seksualitas, hingga saat mendapati dirimu mimpi basah kamu pun tidak bisa membedakannya dengan ngompol, dan harus ditertawakan oleh kawan-kawan sepermainanmu di sekolah… serta, sabar pada pemahaman yang keliru bahwa menjadi gay atau pemburit adalah masuk ke dalam daftar kelompok kaum pendosa yang upahnya adalah maut dan api neraka. Well, dear Stebby… dengan segala tekanan yang harus kamu lalui, terima kasih ya untuk kekuatanmu. Kamu telah menghantarkanku pada pengalaman hidup sejauh ini, hingga di usia 39 tahun. Ya, meski ada kalanya kudapati bahwa di balik keceriaan dan kebahagiaan kita bersosialisasi dengan manusia atau entitas yang lain, kamu tiba-tiba menarik diri dan lebih memilih menikmati kesendirian di antara tumpukan buku-buku atau meluapkan tangismu dengan berlari di dalam deras hujan, sebab kau berharap tak ada orang yang menyadarinya.
Dear Stebby di usia 15 tahun,
Saat kau lebih dewasa, dirimu
yang saat itu tengah berproses untuk berdamai dengan ketubuhan dan
seksualistasmu, pernah bertanya: “Apa yang salah dengan tubuh anak-anak? Apa
ada yang salah dengan tubuh anak laki-laki? Hingga betis dan kakinya pun perlu
ditutup?” Ya, saat itu kau menyaksikan perubahan aturan pada seragam sekolah
dasar, SD dan SMP, yang ada di kotamu. Apakah maraknya kasus pelecehan seksual
dan perkosaan disebabkan oleh tubuh mereka? Disebabkan oleh baju mereka yang
tidak menutup aurat? Oh ayolah, katamu, aku berpakaian formil dan bercelana
panjang ketika kasus pelecehan seksual itu terjadi padaku. Perkosaan itu
terjadi bukan karena bajuku tapi karena pikiran bejat para predator. Setertutup
apapun baju yang kukenakan, aku pun akan selalu menjadi korban perkosaan dan
pelecehan seksual jika otak mereka tidak dibereskan. Dan… kepentinganku sebagai
korban pun tidak akan dilindungi jika ada relasi kuasa di dalamnya. Stebby,
terima kasih untuk selalu mengingatkan hal itu.
Mungkin itulah sebabnya kau
menggemari Anggun, dan lagunya In Your Mind., “Tak ada yang salah dengan
baju yang kupakai. Tak ada yang salah dengan tungkai kaki yang kau lihat. Tak ada yang salah dengan
senyumanku. Yang salah itu, yang ada di otakmu. Dan aku tidak mau permisif pada
kekuranganmu itu” Demikianlah penekananmu pada lirik lagu itu. Ya, lagu itu sepertinya
telah mengadvokasi perasaanmu untuk belajar mencintai diri sendiri~
Oia, Stebby, tahukah kamu,
dalam perjalananmu kemudian, apakah kau masih ingat di mana tepatnya kau belajar
untuk mencintai diri sendiri?
Stebby, tulisan ini kubuat,
aku masih bertanya dan mencoba untuk mengorek-ngorek ingatan dari sekian miliar
folder multi-tema yang otak kita miliki… di titik mana tepatnya kau belajar
mencintai dirimu sendiri. Apakah ketika kau jauh dari rumah sehingga jarak dan
kerinduan itu bisa membuatmu lebih mudah bercerita kepada ‘orang rumah’? Apakah
ketika kau bertemu cinta pertamamu yang manis sehingga psikopatologi itu
perlahan-lahan mencair dari dalam dirimu? Atau… ketika kau mengikuti ajang
Raka-Raki Jawa Timur, sebab di sanalah kau menyadari bahwa dirimu tidak sendiri?
Hingga, hingga akhirnya, kau melakukan beragam upaya rekonsiliasi untuk
berdamai dengan Tuhan. Bahwa Tuhan yang selama ini kau percayai bukanlah Tuhan
yang kejam dan suka menghukum, tetapi Tuhan yang sejatinya penuh kasih kepada
siapa saja, termasuk dirimu… Ya, titik yang membawamu untuk membuang kitab Siksa
Neraka dan memasukkannya ke dalam bacaan yang tidak perlu dibaca oleh
anak-anak sampai kapanpun.
Eniwei, terima kasih banyak Stebby untuk 24 tahun yang sudah kita lalui bersama. Terima kasih pula untuk niat yang akhirnya kau urungkan itu. Ya, meski aku tahu bahwa setelahnya kau harus menjalani hari-harimu dengan berat dan tak lagi sama, tetapi aku benar-benar berterima kasih untuk kebijaksanaanmu yang luar biasa di usia 15 tahun itu.
Stebby, terima kasih. Berkat
kau yang selamat, aku bisa memiliki lebih banyak waktu untuk bertanya sekaligus
menjawab beragam pertanyaan yang kita berdua sama-sama lontarkan pada diri
sendiri. Apa isu personalku? Kenapa dia ada? Dari mana asalnya? Serta…
bagaimana sebaiknya kita berdamai dengan isu tersebut dam mulai mencintai diri
sendiri? Ya, beragam karya kita akhirnya lahir dari keresahan itu, dan… di bagian
ini harus jujur kuakui bahwa kekuatanmulah yang membuatnya otentik. Ya, dalam
kekaryaan dan karier kita di dunia menulis, yang mungkin di awal kita melakukannya
secara tidak sadar, kita telah mengelolah ide atau isu-isu personal seputar spiritualitas,
seksualitas, ketubuhan, kasih, dan keluarga sebagai shelter atau comfort zone yang berujung pada proses penerimaan diri.
Terima kasih, Stebby. Kau
tahu, pergumulan atas isu-isu itu pula itu pula yang akhirnya membawaku pada
studi gender.Ya, untuk semakin mampu menjawab pertanyaan, dan untuk semakin
mampu berdamai dengan diri sendiri.
Stebby, masuk ke Kajian Gender
di Universitas Indonesia dengan identitas sebagai pemeluk queer ternyata
tidak serta merta telah membuatmu memiliki persepsi yang benar mengenai
seksualitas dan ketubuhan. Ternyata aku masih bias. Di semester awal, ku harus
dengan jujur mengakui bahwa ternyata pola pikirku masih gender biner. Aku masih
berpkikir benar salah, berpikir normal dan tidak normal, atau moral dan amoral.
Ya, aku masih berpikir secara heteronormatif mengikuti kaidah patriarki yang
sudah jauh tertanam dan mengakar kuat dalam tubuhku. Jika aku bertemu Sharyn
Graham Davies di masa itu, mungkin ia akan mengatakan bahwa aku adalah queer
yang hobi meng-queer-kan queer lainnya (karena mereka tidak
sesuai dengan bayangan queer yang ada dalam persepsi mula-mulaku). Stebby, di
sini aku benar-benar belajar bahwa warna itu tidak hanya hitam dan putih. Ya
Stebby, dulu mungkin aku yang hanya melihat dari kacamata hitam dan putih. Dulu
jika bukkan hitam atau putih, maka aku hanya akan punya warna antara sebagai
pilihan-yakni abu-abu. Tapi belajar mengenai gender, hal ini semakin mengasah
gradasi kepekaanku untuk menangkap ragam warna lain dalam kehidupan. Bahwa di
luar hitam dan putih masih ada merah, hijau, kuning, biru dan yang lainnya. Dan
bahwa di dalam warna putih yang biasanya dilekatkan dengan simbol kesucianpun
masih ada putih tulang, putih gading, putih karton, putih awan, putih mutiara,
putih cerah, dan sebagainya.
Dear Stebby di usia 15 tahun,
Terima kasih ya untuk tidak
memilih melakukan tindakan bunuh diri. Terima kasih untuk kesabaranmu
berproses. Terima kasih untuk ketahananmu menempa diri. Hingga aku yang
sekarang bisa melihat kehidupan dengan lebih indah dan bersahabat.
Salam dariku yang selalu mencintaimu,
Dirimu di usia 39 tahun.
*) gaslighting: bentuk
manipulatif yang dilakukan seseorang (biasanya terhadap pasangan) dalam hubungan
(kebanyakan asmara) yang tidak sehat. Misal, dengan mengatakan “Berarti kamu
tidak mencintaiku kalau tidak mau tidur/berhubungan seks denganku?”
Comments
Post a Comment